Sepekan Bersama Orang Sujena
ditelinga kirimu
terselip kuncup setengah mekar
berwarna putih, saat itu aku lupa
menanyakan nama bunga
yang kau selipkan tiap pagi
dan sorenya kau ganti dengan bunga yang baru
namun tetap berwarna putih.
Sering kulihat di dahimu tertempel butir-butir
beras putih, entah berapa biji aku malu menghitungnya.
setelah engkau khusuk dalam ritual sajenan pagi dan sore hari
di pura keluarga.
Aku kagum begitu engkau hayati sebuah spiritualitas,
di tengah gelora kehidupan yang semakin materialistis,
di antara kerumunan orang memanjakan nalar dan
berkacak pinggang kepada yang ruhani.
Aku kagum dengan perlawanan budaya yang engkau lakukan,
aku tahu engkau tidak membela keyakinanmu
ditengah hedonisme jaman,
karena engkau hanya menunjukkan dirimu
yang menegakkan pribadi yang bertopang pada keseimbangan
alam-diri-sesuatu yang sakral.
Ada terpancar hening wajah dan hati yang tercerahkan.
tidak perlu engkau membuat jargon tentang cinta kasih,
yang esa dan tunggal,
karena jauh dari yang orang-orang katakan
engkau berkata dengan gerak langkah,
ketulusan laku
dan raut wajah dengan senyum diatas lesung pipimu.
Terima kasih,
lepas dari saat sepekan bersamamu
aku mulai tergerak lagi untuk bertanya ke dalam diri
tentang yang ruhani, spiritualitas dan relung-relung
penyadaran yang masih kosong
dan bergema keriuhan dunia yang hedonis dan penuh kepalsuan.
Ada semangatmu terbawa,
seperti dentang-dentang gaib yang menandakan waktu
untuk menautkan kesadaran
pada yang sakral, bersatu kepada yang harmonis
dan tiap kali menyatakan jiwa kepada semua yang nyata ini
berawal dan berakhir.
Tapi aku masih malu untuk menyebut nama Tuhan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar