1.Passion
Setiap orang memiliki passion atau ketertarikan pada satu atau lebih bidang tertentu. Pastikan kalau reporter adalah passion Anda. Jangan gegara saya pernah mencicipi posisi reporter, Anda pengin mengikuti jejak saya ya *tiba-tiba perut terasa mual.
Kalau Anda merasa tersiksa dengan liputan, dateline yang bertubi-tubi, atau berat ketika menulis naskah, coba bertanya pada hati, “Apakah menikmati pekerjaan ini?” Bila jawabannya ‘iya’, makawelcome to the club. Andai jawaban Anda ‘tidak’, itu artinya jadi narasumber saja deh *sodorin surat pengunduran diri.
Setiap orang memiliki passion atau ketertarikan pada satu atau lebih bidang tertentu. Pastikan kalau reporter adalah passion Anda. Jangan gegara saya pernah mencicipi posisi reporter, Anda pengin mengikuti jejak saya ya *tiba-tiba perut terasa mual.
Kalau Anda merasa tersiksa dengan liputan, dateline yang bertubi-tubi, atau berat ketika menulis naskah, coba bertanya pada hati, “Apakah menikmati pekerjaan ini?” Bila jawabannya ‘iya’, makawelcome to the club. Andai jawaban Anda ‘tidak’, itu artinya jadi narasumber saja deh *sodorin surat pengunduran diri.
2.Mencari kontak narasumber
Usai memutuskan sebagai reporter, tugas pertama adalah mencari nomor telepon narasumber. Nah, saya pernah mendapatkan titah mencari kontak narasumber dari kalangan pesohor sampai yang sudah meninggal *tebar kemenyan.
Caranya?
-Hubungi melalui media sosialnya, umumnya mereka terbuka bila ada pihak yang hendak wawancara. Entah itu Anda akan mendapatkan nomor manajer atau nomor HP pribadi. Kecuali mereka lagi dikejar-kejar debt collector, biasanya sok sibuk, atau pura-pura sakit gigi jadi enggak bisa menjawab telepon.
-Cara kontak komunitas atau tempat pendidikan. Anda dapat menghubungi pihak sekolah bila narasumber masih berstatus pelajar. Bisa juga menghubungi kontak komunitas yang biasanya diikuti oleh narasumber. Kalau narasumbernya hobi bersembunyi di goa, pake telepon yang terbuat dari batu saja. “Ya, halo?”
-Dilarang keras pergi ke dukun yak. Mahal soalnya! #Loh.
Usai memutuskan sebagai reporter, tugas pertama adalah mencari nomor telepon narasumber. Nah, saya pernah mendapatkan titah mencari kontak narasumber dari kalangan pesohor sampai yang sudah meninggal *tebar kemenyan.
Caranya?
-Hubungi melalui media sosialnya, umumnya mereka terbuka bila ada pihak yang hendak wawancara. Entah itu Anda akan mendapatkan nomor manajer atau nomor HP pribadi. Kecuali mereka lagi dikejar-kejar debt collector, biasanya sok sibuk, atau pura-pura sakit gigi jadi enggak bisa menjawab telepon.
-Cara kontak komunitas atau tempat pendidikan. Anda dapat menghubungi pihak sekolah bila narasumber masih berstatus pelajar. Bisa juga menghubungi kontak komunitas yang biasanya diikuti oleh narasumber. Kalau narasumbernya hobi bersembunyi di goa, pake telepon yang terbuat dari batu saja. “Ya, halo?”
-Dilarang keras pergi ke dukun yak. Mahal soalnya! #Loh.
3.Percaya diri
Ketika nomor narasumber sudah di tangan, langkah selanjutnya adalah meningkatkan tagihan telepon kantor. Berdasarkan pengalaman saya, banyak yang kurang percaya diri ketika wajib menghubungi narasumber untuk pertama kali. Umumnya reporter yang masih kinyis-kinyis atau anak-anak magang.
Alasannya…
“Kalau enggak mau diwawancara gimana?”
“Cara ngomongnya bagaimana ya?”
“Takut yang angkat anjing herdernya dulu.”
Hedeeehhh!!!
Anda harus percaya diri. Yakin dahulu kalau narasumber bakal bersedia. Kalau menolak, kasih ribuan rayuan. Katakan ada jaminan kalau wajahnya bakal masuk tipi, kamera akan mengikuti kegiatannya bak artis hollywood, atau bisa ketemu reporter kek saya *kedip-kedip kelilipan. Andai narasumber ngotot enggak mau diwawancara, baiklah, pamit baik-baik, tutup gagang teleponnya, dan… berteriaklah sepuas mungkin!
Ketika nomor narasumber sudah di tangan, langkah selanjutnya adalah meningkatkan tagihan telepon kantor. Berdasarkan pengalaman saya, banyak yang kurang percaya diri ketika wajib menghubungi narasumber untuk pertama kali. Umumnya reporter yang masih kinyis-kinyis atau anak-anak magang.
Alasannya…
“Kalau enggak mau diwawancara gimana?”
“Cara ngomongnya bagaimana ya?”
“Takut yang angkat anjing herdernya dulu.”
Hedeeehhh!!!
Anda harus percaya diri. Yakin dahulu kalau narasumber bakal bersedia. Kalau menolak, kasih ribuan rayuan. Katakan ada jaminan kalau wajahnya bakal masuk tipi, kamera akan mengikuti kegiatannya bak artis hollywood, atau bisa ketemu reporter kek saya *kedip-kedip kelilipan. Andai narasumber ngotot enggak mau diwawancara, baiklah, pamit baik-baik, tutup gagang teleponnya, dan… berteriaklah sepuas mungkin!
4.Supel
Seorang reporter wajib berlagak menjadi sosok supel. Walaupun Anda merasa tidak memiliki gen cerewet, terkadang kondisi memaksa Anda untuk menjelma menjadi seorang ceriwis. Coba bayangkan, narasumber adalah orang asing, dan Anda tiba-tiba datang ingin tanya ini-tanya itu. Tidak semua narasumber mau terbuka secepatnya. Kalau ketemu narasumber yang introvert gimana?
Perlu perlu adegan pendekatan ketika berhadapan dengan narasumber. Tapi engggak juga kayak mau mendekati gebetan lho. Sebelum sesi wawancara adalah momen tepat untuk lebih dekat dengan narasumber.
Misalnya: tanya soal aktifitas sekarang, pendapat dia mengenai pertumbuhan ekonomi (bila narasumbernya adalah ekonom), masih keturunan kesultanan atau enggak #hallah.
Tapi jangan bertanya, “Di rumah Bapak/Ibu ada tikusnya enggak?”
Grrr…
Seorang reporter wajib berlagak menjadi sosok supel. Walaupun Anda merasa tidak memiliki gen cerewet, terkadang kondisi memaksa Anda untuk menjelma menjadi seorang ceriwis. Coba bayangkan, narasumber adalah orang asing, dan Anda tiba-tiba datang ingin tanya ini-tanya itu. Tidak semua narasumber mau terbuka secepatnya. Kalau ketemu narasumber yang introvert gimana?
Perlu perlu adegan pendekatan ketika berhadapan dengan narasumber. Tapi engggak juga kayak mau mendekati gebetan lho. Sebelum sesi wawancara adalah momen tepat untuk lebih dekat dengan narasumber.
Misalnya: tanya soal aktifitas sekarang, pendapat dia mengenai pertumbuhan ekonomi (bila narasumbernya adalah ekonom), masih keturunan kesultanan atau enggak #hallah.
Tapi jangan bertanya, “Di rumah Bapak/Ibu ada tikusnya enggak?”
Grrr…
5.Menyelami naskah
Hubungi narasumber sudah, liputan narasumber sudah, selanjutnya adalah menyusun naskah. Kalau Anda lihat acara di tivi dan ada suara narasi, maka yang menyusun kalimat adalah si reporter. Sebelum menulis, bisa membaca naskah-naskah sebelumnya sebagai bahan referensi (asal jangan copy-paste terus cuma ganti nama narasumber). Ada tips dari bos yang masih melekat di benak saya, yaitu:
“Kalau sudah selesai, baca dan resapi kalimatnya. Kalau kamu membacanya sambil ngos-ngosan, maka potong kalimatnya. Baca tulisan seraya menjadi penonton televisi, kira-kira enak atau tidak didengar.”
Kalau naskahnya enggak jadi-jadi, paling bos cuma potong gaji, rebes!
Hubungi narasumber sudah, liputan narasumber sudah, selanjutnya adalah menyusun naskah. Kalau Anda lihat acara di tivi dan ada suara narasi, maka yang menyusun kalimat adalah si reporter. Sebelum menulis, bisa membaca naskah-naskah sebelumnya sebagai bahan referensi (asal jangan copy-paste terus cuma ganti nama narasumber). Ada tips dari bos yang masih melekat di benak saya, yaitu:
“Kalau sudah selesai, baca dan resapi kalimatnya. Kalau kamu membacanya sambil ngos-ngosan, maka potong kalimatnya. Baca tulisan seraya menjadi penonton televisi, kira-kira enak atau tidak didengar.”
Kalau naskahnya enggak jadi-jadi, paling bos cuma potong gaji, rebes!
6.Melihat acara TV lain
Kalau hasil akhir liputan adalah acara televisi, ya perlu mengintip acara tivi yang sejenis sebagai bahan referensi. Lihat bagaimana pengambilan gambar, kalimat yang dipakai, baju narasumber #Eh. Kantor tempat saya bercokol dahulu, langganan tv kabel, jadi karyawannya (termasuk reporter) memiliki fasilitas bagaimana menghasilkan acara menjadi lebih menarik. Diharapkan semua tim memahami perkembangan acara tipi di dunia. Walaupun…. sebenarnya… sesungguhnya… saya lebih memilih channel H*O, F*X Movie, MG*M aka numpang nonton film bagus dan gratis *motto anak kos.
(Sssttt jangan ditiru ya, wahai calon reporter, kecuali enggak ketahuan sama bos *tos)
Kalau hasil akhir liputan adalah acara televisi, ya perlu mengintip acara tivi yang sejenis sebagai bahan referensi. Lihat bagaimana pengambilan gambar, kalimat yang dipakai, baju narasumber #Eh. Kantor tempat saya bercokol dahulu, langganan tv kabel, jadi karyawannya (termasuk reporter) memiliki fasilitas bagaimana menghasilkan acara menjadi lebih menarik. Diharapkan semua tim memahami perkembangan acara tipi di dunia. Walaupun…. sebenarnya… sesungguhnya… saya lebih memilih channel H*O, F*X Movie, MG*M aka numpang nonton film bagus dan gratis *motto anak kos.
(Sssttt jangan ditiru ya, wahai calon reporter, kecuali enggak ketahuan sama bos *tos)
7.Keep in touch
Ketika hasil liputan akan tayang di televisi. Wajib menghubungi narasumber dahulu.
“Halooo besok wajahnya nemplok di tipi lho.”
Biar narasumber, bapaknya, ibunya, kakakknya, adiknya, asisten rumah tangganya, tikusnya… pokoke semua pada nonton.
Ketika hasil liputan akan tayang di televisi. Wajib menghubungi narasumber dahulu.
“Halooo besok wajahnya nemplok di tipi lho.”
Biar narasumber, bapaknya, ibunya, kakakknya, adiknya, asisten rumah tangganya, tikusnya… pokoke semua pada nonton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar